Keutamaan dan Urgensi Tauhid
Urgensi tauhid
Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah (penulis Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah) mengatakan,
“Ketahuilah, tauhid merupakan seruan pertama dakwah para rasul. Ia adalah fase perjalanan pertama dan maqam awal yang harus dipijak oleh seorang yang menempuh jalan menuju Allah ‘Azza Wajalla.
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤ
“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia menyerukan ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang hak) bagi kalian, selain Dia.’”(QS. Al-A’raf: 59)
Hud ‘alaihis salam mengatakan kepada kaumnya,
ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۚ
“Sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang hak) bagi kalian, selain Dia.” (QS. Al-A’raf: 65)
Shalih ‘alaihis salam mengatakan kepada kaumnya,
ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۚ
“Sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang hak) bagi kalian, selain Dia.” (QS. Al-A’raf: 73)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau, melainkan Kami telah wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Aku. Maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itulah, maka sesungguhnya pendapat yang benar ialah yang menyatakan bahwa kewajiban pertama yang ditanggung oleh setiap hamba adalah bersaksi la ilaha illallah, sehingga tauhid itulah kewajiban yang pertama. Bahkan, dia juga menjadi kewajiban terakhir. Hal ini sebagaimana tercantum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang perkataan terakhirnya adalah laa ilaaha illallah pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim, dia mensahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya) (lihat Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 35)
Baca Juga: Tauhid, Fitrah Seluruh Manusia
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya. Sesungguhnya hakikat Al-Hanifiyah, yaitu agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah dengan ikhlas dalam melakukan ketaatan (tidak berbuat syirik, pent). Dan dengan hal itulah Allah memerintahkan seluruh manusia dan untuk itulah Allah menciptakan mereka semua…” (Majmu’ah Tauhid, hal. 19)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Tauhid merupakan perkara paling agung yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini disebabkan ia (tauhid) menjadi pondasi seluruh ajaran agama. Oleh karena itu, dengan tauhidlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dakwahnya mengajak kepada agama Allah. Demikian juga beliau memerintahkan utusan dakwahnya supaya memulai dakwah dengan perkara ini.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 41).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Mu’adz bin Jabal tatkala hendak diutus berdakwah ke negeri Yaman, “Hendaklah perkara pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat laa ilaaha illallah” dalam riwayat lain, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam riwayat Muslim dengan lafaz, “Hendaknya perkara paling pertama yang harus engkau sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada Allah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah di sini adalah bertauhid (Fath al-Bari, 20: 440. Asy-Syamilah)
Baca Juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan?
Tauhid, intisari ajaran Islam
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Dan telah diketahui dengan pasti suatu prinsip yang termasuk ajaran agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga disepakati oleh seluruh umat, yaitu pokok ajaran Islam dan perintah pertama yang diberikan kepada manusia ialah syahadat la ilaha illallah wa anna muhammadar rasulullah. Dengan itulah seorang kafir berubah menjadi muslim, musuh menjadi teman, yang semula darah dan hartanya boleh diambil, berubah menjadi terpelihara darah dan hartanya.” (Dikutip dari Fath Al-Majid, hal. 81)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Simpul ajaran agama (Islam) ada pada dua prinsip: [1] Kita tidak menyembah, kecuali kepada Allah, [2] Dan kita tidak menyembah-Nya, kecuali dengan syari’at-Nya, bukan dengan kebid’ahan. Hal ini sebagaimana terkandung dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا
“Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan sesuatu pun (berbuat syirik) dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Itulah perwujudan dua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah dan syahadat anna muhammadar rasulullah. Pada (syahadat) yang pertama terkandung prinsip bahwa kita tidak beribadah, kecuali kepada-Nya. Sedangkan pada (syahadat) yang kedua terkandung prinsip bahwa Muhammad-lah utusan-Nya yang menyampaikan wahyu dari-Nya. Oleh sebab itu, kita wajib membenarkan beritanya dan mentaati perintahnya.” (Al-‘Ubudiyah, hal. 137)
Tauhid, fikih yang paling agung
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa pengertian fikih dalam syariat adalah mengetahui hukum-hukum Allah yang berupa akidah ataupun amalan. Maka, dalam pengertian syariat, fikih tidaklah hanya terbatas pada urusan amal perbuatan orang yang dibebani syariat atau hukum amaliah semata. Akan tetapi, fikih itu juga mencakup hukum-hukum akidah. Bahkan, sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya ilmu akidah itulah fikih yang terbesar (al-fiqh al-akbar).”
Ini adalah pernyataan yang benar. Sebab, anda tidak mungkin bisa beribadah dengan benar kepada Al-Ma’bud (Allah), kecuali setelah mengetahui keesaan-Nya dalam hal rububiyah-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan uluhiyah-Nya. Kalau tidak demikian, maka bagaimana mungkin anda beribadah kepada sesuatu yang tidak dimengerti? Oleh sebab itu, asas yang pertama adalah tauhid, dan memang pantas ia disebut sebagai fikih yang terbesar. (Syarh Al-Mumti’, I: 10-11)
Terkait dengan pentingnya tauhid ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba untuk senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang bisa dianalogikan dengannya. Akan tetapi, dari sebagian sisi ia bisa diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbedaan. Karena sesungguhnya, jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya. Padahal, tidak ada kebaikan baginya (hati dan ruh), kecuali dengan (pertolongan) Tuhannya, yang tiada ilah (sesembahan) yang hak, selain Dia. Sehingga, ia tidak akan bisa merasakan ketenangan, kecuali dengan mengingat-Nya.
Seandainya seorang hamba bisa memperoleh kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah, maka hal itu tidak akan terus menerus terasa. Akan tetapi, ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun Tuhannya, maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap waktu. Di mana pun dia berada, maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya.” (Majmu’ Fatawa, I: 24. Dikutip dengan perantara Kitab Tauhid Syekh Shalih al-Fauzan, hal. 43)
Baca Juga:
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel asli: https://muslim.or.id/77749-keutamaan-dan-urgensi-tauhid.html